Sunan Muria
Raden Umar Said atau sering di sebut Sunan
Muria adalah anak dari Sunan Kalijaga dari pernikahannya dengan Dewi Saroh. Nama
muria di ambil dari nama tempat tinggal beliau di gunung muria, beliau terkenal
mempunyai kesaktian.
Cerita tentang Sunan Muria
Raden Umar Said sedang asyik
berceramah di padepokannya di Desa Colo, Kecamatan Dawe, Kudus, ketika seorang
pemuda datang berkunjung. Tanpa tedeng aling-aling, pemuda itu, Raden Bambang
Kebo Anabrang, mengaku sebagai putra Raden Umar. Raden Umar terkejut mendengarnya.
Ia segera membantah dan mengusir Kebo Anabrang. Tetapi, Kebo Anabrang tetap
bersikeras, tak mau meninggalkan padepokan sebelum Raden Umar mengaku sebagai
ayahnya. Karena terus didesak, Raden Umar akhirnya mengalah. Tapi dengan satu
syarat: Kebo Anabrang harus memindahkan salah satu pintu gerbang Kerajaan
Majapahit di Trowulan, Mojokerto, ke padepokannya dalam semalam. Padahal,
jaraknya mencapai sekitar 350 kilometer. Berkat kesaktian Kebo Anabrang, pintu
gerbang itu enteng saja dipikulnya. Tetapi, dalam perjalanan, Kebo Anabrang
dihadang Raden Ronggo dari Kadipaten Pasatenan Pati. Raden Ronggo juga
memerlukan gerbang itu untuk mempersunting Roro Pujiwati, putri Kiai Ageng
Ngerang. Siapa saja yang sanggup membawa gerbang Majapahit itu ke Juana berhak
melamar Roro Pujiwati. Terjadilah pertarungan sengit. Masing-masing
mengeluarkan kesaktiannya. Raden Umar terpaksa turun langsung melerai
pertengkaran itu. ''Siapa yang sanggup mengangkat pintu gerbang, dialah yang
berhak,'' kata Raden Umar. Ternyata, hanya Kebo Anabrang yang sanggup
mengangkatnya. Ia pun melanjutkan perjalanan. Tapi, apa lacur. Begitu
melangkahkan kaki, terdengar kokok ayam bersahutan, pertanda pagi menjelang.
Padahal, ia baru mencapai Dusun Rondole, Desa Muktiharjo, yang bejarak lima
kilometer dari kota Pati. Konon, sampai kini pintu gerbang itu masih berdiri
dan dikeramatkan penduduk setempat. Itulah satu cuplikan cerita rakyat tentang
Raden Umar Said, yang tak lain adalah Sunan Muria. Padepokannya di Colo
terletak di lereng Gunung Muria, sekitar 800 meter di atas permukaan laut. Toh,
kalaupun Kebo Anabrang berhasil, ia akan sulit menuliskan silsilahnya. Maklum,
sampai kini belum ada telaah yang jelas mengenai asal-usul Sunan Muria. Satu
versi menyebutkan, Sunan Muria adalah putra Sunan Kalijaga. Ahli sejarah A.M.
Noertjahjo (1974) dan Solihin Salam (1964, 1974) yakin dengan versi ini.
Berdasarkan penelusuran mereka, pernikahan Sunan Kalijaga dengan Dewi Saroh
binti Maulana Is-haq memperoleh tiga anak, yakni Sunan Muria, Dewi Rukayah, dan
Dewi Sofiah. Versi lain memaparkan, Sunan Muria adalah putra Raden Usman Haji
alias Sunan Ngudung. Karya R. Darmowasito, Pustoko Darah Agung, yang berisi
sejarah dan silsilah wali dan raja-raja Jawa, menyebutkan Sunan Muria sebagai
putra Raden Usman Haji. Bahkan ada juga yang menyebutnya keturunan Tionghoa. Dalam
bukunya, Runtuhnya Kerajaan Hindhu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di
Nusantara (1968), Prof. Dr. Slamet Muljana menyebutkan ayah Sunan Muria, Sunan
Kalijaga, tak lain seorang kapitan Tionghoa bernama Gan Sie Cang. Sunan Muria
disebut ''tak pandai berbahasa Tionghoa karena berbaur dengan suku Jawa''. Slamet
mengacu pada naskah kuno yang ditemukan di Klenteng Sam Po Kong, Semarang, pada
1928. Pemerintahan Orde Baru ketika itu khawatir penemuan Slamet ini mengundang
heboh. Akibatnya, karya Slamet itu masuk dalam daftar buku yang dilarang
Kejaksaan Agung pada 1971. Sayang sekali, belum ada telaah mendalam mengenai
berbagai versi itu. Sejauh ini, karya Umar Hasyim, Sunan Muria: Antara Fakta
dan Legenda (1983), bolehlah digolongkan penelitian awal yang mencoba
menelusuri silsilah Sunan Muria secara lebih ilmiah. Ia berusaha membedakan
cerita rakyat dengan fakta. Misalnya tentang Sunan Muria sebagai keturunan
Tionghoa. Umar mengumpulkan sejumlah pendapat ahli sejarah. Ternyata, keabsahan
naskah kuno tadi meragukan, karena telah bercampur dengan dongeng rakyat. Walau
begitu, Umar mengaku kadang-kadang terpaksa mengandalkan penafsirannya dalam
menelusuri jejak Sunan Muria. Hasilnya, Umar cenderung pada versi Sunan Muria
sebagai putra Sunan Kalijaga. Toh, dari berbagai versi itu, tak ada yang
meragukan reputasi Sunan Muria dalam berdakwah. Gayanya ''moderat'', mengikuti
Sunan Kalijaga, menyelusup lewat berbagai tradisi kebudayaan Jawa. Misalnya
adat kenduri pada hari-hari tertentu setelah kematian anggota keluarga, seperti
nelung dino sampai nyewu, yang tak diharamkannya. Hanya, tradisi berbau klenik
seperti membakar kemenyan atau menyuguhkan sesaji diganti dengan doa atau
salawat. Sunan Muria juga berdakwah lewat berbagai kesenian Jawa, misalnya
mencipta macapat, lagu Jawa. Lagu sinom dan kinanti dipercayai sebagai karya
Sunan Muria, yang sampai sekarang masih lestari. Lewat tembang-tembang itulah
ia mengajak umatnya mengamalkan ajaran Islam. Karena itulah, Sunan Muria lebih
senang berdakwah pada rakyat jelata ketimbang kaum bangsawan. Maka daerah
dakwahnya cukup luas dan tersebar. Mulai lereng-lereng Gunung Muria, pelosok
Pati, Kudus, Juana, sampai pesisir utara. Cara dakwah inilah yang menyebabkan
Sunan Muria dikenal sebagai sunan yang suka berdakwah topo ngeli. Yakni dengan
''menghanyutkan diri'' dalam masyarakat. Sampai kini, kompleks makam Sunan
Muria, yang terletak di Desa Colo, tak pernah sepi dari penziarah. ''Kurang
lebih ada sekitar 15.000 penziarah tiap hari,'' tutur Muhammad Shohib, Ketua
Yayasan Masjid dan Makam Sunan Muria. Mereka berasal dari seluruh pelosok
Nusantara. ''Bahkan ada yang datang dari luar negeri, terutama dari negara
Islam,'' kata Shohib. Biasanya, kata Shohib, para penziarah ingin mendapat
berkah untuk melicinkan usaha, atau mengharap jabatan yang lebih tinggi. Maka
tak mengherankan, banyak juga pejabat negara yang datang ke makam Sunan Muria. Dalam
daftar tamu pengurus yayasan yang disodorkan Shohib, terdapat beberapa nama
pejabat teras Jakarta. Menteri Koordinator Bidang Politik, Sosial, dan
Keamanan, Susilo Bambang Yudhoyono, tercatat berziarah ke makam Sunan Muria
pada 21 Oktober lalu. Mantan Ketua Dewan Koperasi Indonesia, Prof. Sri Edi
Swasono, Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Tyasno Sudarto, dan Mantan Kepala
Kepolisian RI, Jenderal Roesmanhadi, juga pernah membubuhkan namanya di buku
tamu. Tentu saja tak ketinggalan mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid, yang
memang rajin bertandang ke makam-makam. Menurut Shohib, Gus Dur berziarah
beberapa pekan sebelum lengser dari kursi kepresidenan. ''Hanya saja, ia tak
mau mengisi buku tamu,'' kata Shohib. Di kalangan pejabat yang hobi berziarah,
kata Shohib, berkembang kepercayaan, jika sudah berkunjung ke makam Sunan
Muria, jangan berziarah ke makam Sunan Kudus. Jarak kedua makam memang tak
begitu jauh, sekitar 19 km. ''Itu pantangan. Kalau berkunjung ke makam Sunan
Kudus, bisa kehilangan jabatan,'' kata Shohib. Contohnya Menteri Penerangan
kabinet Orde Baru, H. Harmoko. ''Setelah tak menjabat, baru Pak Harmoko
mengunjungi makam Sunan Kudus,'' kata Shohib.
sumber:
http://nanunguae.multiply.com/journal/item/9/Sepenggal_Cerita_Wali_songo_sembilan_wali www.facebook.com/notes/wali-songo/sepenggal-cerita-wali-songo-sunanmuria/37896989927
Tidak ada komentar:
Posting Komentar